Laman

Senin, 12 Juni 2017

Kemana Piala Hatimu?

Hujan Bulan Juni seperti pada puisi Sapardi Djoko Damono, memang tak pernah sungguh ada terus-menerus, setidaknya pada bulan Juni ini. Walaupun pernah ada, ia tak lebih dari sapuan air yang melintas tiba-tiba, mungkin hanya ingin mengabarkan sisanya. Dan, aku, menyadari sebagai satu kesia-siaan menunggumu, seperti menunggu turunnya di hujan bulan Juni pada puisi fenemonal itu.

Janganlah,engkau sampaikan bahwa hari kedua puluh satu akan mengabariku, di mana titik terakhir posisimu. Ini hari, bahkan sudah berapa puluh kali 21 hari yang engkau janjikan. Bodohnya, aku masih menunggui hal itu terwujud dan engkau secara mujisat ada di depanku, membawakanku selingkar cincin yang ada namaku, dan selingkar  lagi ada namamu. Lalu, kita akan saling memakaikannya di jari manis sebelah kiri, sebagai tanda sah pertunangan kita.

"Melamun tentang apa, Ulan?" Mamaku memergoki kesendirianku di sore bermendung itu.
"Hanya mengingat kenangan kecil,Ma." kataku jujur.
"Sudahlah,sayang,Tidak usah mengingat dia lagi. Masih banyak hal yang bisa Kau pikirkan, selain dia,dia, dan dia." Mama mengusap pundakku, menasihatiku dengan suaranya yang senantiasa meneduhkan.
Aku hanya tersenyum kecil dan memilih masuk kamar lagi, menyisakan raut wajah sedih mama.

Kuakui,aku tak pernah bisa melupakan semua tentangnya. Bagiku, dia masih seseorang yang akan menepati janji. seseorang yang akan sungguh memberikan kebahagiaan dan mengisi kebahagiaan dalam mimpi masa depan kami. Aku masih setia pada pperasaanku. pada penantian 21 hari yang ia janjikan, setidaknya sampai pagi tadi, ketika kuterima titipan surat dari temannya temanku, yang baru pulang dari kota seberang.

"Maafkan diriku,Ulan. Tak ada hari ke-21 lagi di antara kita. Aku memang layak kau sebut lelaki pengecut, karena membiarkanmu berharap untuk hari ke-21 kita. Aku, telah menikah dengan gadis setempat, karena aku tidak tahan dengan kesepian yang menderaku saban hari. Waktu itu, Engkau masih bersikukuh tidak mau bermukim di kota terpencil ini, segera setelah kita menikah, seperti angan--angan kita. Maka, aku membuat skenario 21 hari itu, setelah kunjungan terakhirku di rumahmu. Maafkan, bahwa sebenarnya waktu itu, hatiku sudah mendua...." Tak pantas lagi kubaca surat tersebut. Dia sudah mengakui kepengecutannya, bagiku itu sudah cukup.

Cukup juga untuk sekadar tahu, kemana piala hatimu,telah kamu sematkan.

Kutahu juga, kelak akan kusematkan  piala hatiku, pada seseorang yang dengan tulus dan penuh kehangatan merelakan pundaknya,menjadi tempatku beristirahat,jika hatiku sedih.

12 Juni,2017
kisah teman dari temanku...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar