Laman

Kamis, 21 Desember 2017

Sementara

Hidup itu permainan

sementara kalah
sementara menang

sementara sedih
sementara bahagia

sementara saja

19.39 wita
#mengalami sesuatu
#mandiri

Selasa, 19 Desember 2017

Lilin Desember

Peziarahan sebatas nyala lilin
padahal baranya selalu meletup
menghidupkan nafas cinta
yang jejaknya berayun-ayun
pada ombak Desember

Adakah kau rasa,
usia mendekap takdir?

kemana hendak kusuntingkan lagi
cinta bersahaja kita?

lantaran cincin belah rotan
sisa sebelah

# menjelang ulang tahun kita,
# 23 & 24 Desember


Dialog


Hujan menggenggam kotaku
Berhari-hari
Bermalam-malam
Hingga sesore ini

Katamu,
Selalu mencungkil kenangan
di setiap rintiknya

Kataku,
larungkan saja ke laut
kalau tidak,
ngilunya
sampai ke sumsum

sore berhujan

Minggu, 10 Desember 2017

Lelaki Penulis


Kupastikan aku akhirnya dapat berkenalan, semenjak kami berjabat tangan di satu perhelatan sastra yang getol dibuatnya saban bulan, di suatu tempat, di suatu kota. Dia penulis yang menuliskan hidupnya setiap detik, setiap menit,setiap jam, sepanjang segala waktu.

Tampilannya sederhana karena baginya kemewahan tak melekat pada lahiriah tapi pada jiwa yang mendamba. Mendambakan kebahagiaan.  Kebahagiaan  ternyata selalu ia dapatkan pada setiap kalimat yang mampu ia selesaikan dengan tanda titik.

Kupahami kini, penulis bercinta dengan kata-kata. Tak pernah sungguh mencintai perasaan-perasaan konvensional

pagi sekali
11 Des.2017

Sabtu, 18 November 2017

NOL

Perasaanmu
di antara pensil dan kertas kosongku
menarikan aksara
yang tak pernah
sampai

sebenarnya,
seberapa jarak
kita?

Rabu, 15 November 2017

pelaminan kertas

malaikat menarikan nyanyian paling merdu
suatu sore
suatu tempat
suatu kisah

dua puluh lima tahun
terpatri sebagai kenangan
alpha - omega

dan anak manusia
tak pernah bertemu jawab
mengapa terjadi
lalu pergi
tinggalkan sunyi

di mana jiwa?


 (15.11 suatu tahun
kisah pengantin yang bersanding dengan waktu
pelaminannya kertas yang agak robek
rumahnya didirikan di atas pasir, yang sebentar saja lenyap di telan arus)

usang dan menua

menjadi kail di matamu
lebih dalam lagi
berharap terkait
perasaan ingkar
yang kerap menggangu tidurku

lalu kulempar
pada perkataan nyinyirmu
supaya kedegilan hatimu
terbakar
pada api
yang paling api

tak usah lagi
kau jadikan
hatimu magnit
pada setiap mimpi
lantaran kisah sudah usang
menua
dan sebentar menyatu tanah

15.11.17

Minggu, 05 November 2017

Nyanyian Hati


Dengan tersenyum, ia membersihkan debu yang menyelimuti alat musik kesayangannya. Masih terngiang saat berdua saling menghibur hati. Lelaki itu memainkan alat musik dan perempuan kesayangannya menyanyi, walaupun suara tidak terlalu merdu. Kadang lagu yang sedih, kadang lagu yang riang,tapi lebih sering dimainkannya lagu pujian-pujian kepada sang maha agung. Biasanya sore berhujan seperti saat ini.

Kata lelaki pemain organ itu, " Sore berhujan selalu menerbitkan romantisme yang manis, apalagi kalau sambil bernyanyi dan bermusik." Lalu, nada do re mi fa sol dalam setiap nyanyian pun mengalun, memenuhi ruang rumah sederhana itu. Sesekali saling melempar senyum. Sesekali saling memeluk hangat, bila lagu dapat dinyanyikan dengan tuntas. Cinta selalu menyatukan rasa.

"Lama sekali kita tidak nyanyi berdua, ya. Dirimu terlalu didera rutinitas kerjamu dan tulisan-tulisanmu." kata lelaki mengingatkan perempuan itu. Perempuan terdiam. "Aku merasa jauh darimu, sekarang." balasnya pelan. Ada nada kesenduan di antara mereka. "Yok, kita nyanyi lagi sekarang. Nyanyikan lagu kesayangan kita. Aku memainkan musiknya." ajaknya riang. Perempuan itu tersenyum bahagia. Bahagia akan menyanyi lagi. Tapi bunyi gemuruh di langit menyadarkannya dari lelap tidurnya. Kenangan selalu menggigilkan rasa.

#darisatukata
#pentigraf,cerpen tiga paragraf
#jeda sejenak menulis soal ulangan
#menulis itu membahagiakan.

Lima puluh tahun

Omongan adalah doa, sepertinya bukan ucapan belaka, setidaknya bagi seorang Deka. Ia membuktikannya saat usianya menginjak lima puluh empat tahun. Kini, kenangan itu merajamnya. Tak pernah dilupakannya peristiwa itu. Saat keinginannya untuk mewujudkan cintanya pada perempuan sederhana yang ingin sekali dinikahinya, lima belas tahun lalu. Tapi sepertinya waktu tidak memihaknya. Saat itu semua menjadi tidak terbukajalan  sedikitpun. Bahkan sekadar untuk berani mengungkapkan.

Diam-diam perasaan mereka hanya bicara dalam diam. Hingga entah karena apa, akhirnya saling menjauh. menjauh dan menjauh. Lalu hilang begitu saja.

Tetapi takdir tidak pernah mengingakri janjinya. Selalu saja ada peristiwa yang menjadikannya. Atas nama semesta, dipertemukannya lagi hati yang terpaut lima belas tahun. Tapi kini mereka telah berbeda. Deka tidak mungkin lagi, - sekali lagi -, tidak mungkin mewujudkan rasa cinta yang pernah mengharu biru perasaannya pada perempuan itu, hampir lima belas tahun yang lalu. Lantaran Deka tidak sendiri lagi. Sementara perempuan itu, pada garis usia luma puluh tahun terpisah oleh takdir, sendiri saja, karena ditinggal kekasih jiwanya menuju keabadiaan. Takdir tak pernah mengingkari janjinya.

pentigraf.

Sabtu, 14 Oktober 2017

jelaskan padaku

jelaskan tentang ranting yang engkau patahkan satu satu,
hanya karena rindumu tersesat di perbatasan hati
lalu mengapa engkau tak pernah mau menakar,
   seberapa berat memeram rindu hanya lantaran dia?
   seberapa jauh keinginanmu untuk memergikan perasaan yang sempat ada?

jelaskan padaku sebentar saja

denpasar mulai berhujan
14.10.2017


Jumat, 29 September 2017

Desya

Desya gadis enam belas tahun itu mengisahkan imajinasinya di atas selembar kertas. Ia penulis. Pemula saja menurutku. Tetapi kekuatan kata-katanya menghipnotisku. Aku gurunya, menemukan mutiara pada dirinya. Kudekati dia.

"Cerita pendekmu sejak paragraf pertama sudah mengaduk-aduk  emosi pembaca,Desya. Kamu tentu  suka membaca novel atau cerpen, ya?" tanyaku, dan Ia melirikku saja, tanpa senyum seperti biasanya. Desya hanya satu dari dua puluh murid kelas menulisku. Gadis sangat pendiam, tapi tidak untuk pembicaraan atas nama imajinya. Ini cerpen ketiga yang ia buat pada materi kelas menulisku. Dua cerpen sebelumnya berhasil menggedor seluruh perasaan siswa kelas menulis. Aku pikir dia tidak perlu lagi berada di kelas kreatif ini, bahkan untuk menjadi mentor sebayapun. Aku juga berpikir, setidaknya tiga tahun lagi dia sekaliber Dewi Dee , Tere Liye atau penulis perempuan kondang lainnya di republik ini, jika ia menjaga dan terus menumbuhkan proses kreatifnya.

"Saya hanya ingin membagi perasaan dalam hidup saya.  Saya sering membayangkan seandainya seorang perempuan  tidak meninggalkan seorang bayi merah di teras panti asuhan, mungkin saya tidak pernah  bisa menulis cerita pendek, bu guru." jawabannya menghentikan segenap pertanyaanku berikutnya. Kali ini Desya tersenyum padaku. Entah karena alasan apa. 




Minggu, 10 September 2017

Tak kan ada cinta yang lain

Mata indah itu tak pernah berhenti melukai perasaanku.
Mengapa tak pernah sekalipun dirimu melarung rasa itu ,
agar hanyut semua keinginan mencintaimu lebih lama?

September baru saja membuka hari, tapi aku tak menemukan apapun untuk bisa mengartikan kebaikanmu selama ini. Apakah lantaran persahabatan, rasa kasihan atau sekadar basa-basi? Perlahan kututup buku harian yang kini seperti menjadi bayangan kemanapun aku pergi. Buku tebal ini menyimpan setiap puisi, setiap cerpen atau setiap rasa baik, rasa buruk yang menguasai perjalanan sendiriku. Begitupun sore bermendung tipis kali ini.

Namanya sederhana, Cahyadi. Hitam manis. Perawakannya kukuh dan selalu membuatku nyaman berada di sisinya. hanya dia selalu bercerita tentang banyak perempuan yang; ia singgahi hatinya, ia simpankan namanya, atau sekadar ia titipkan di bagian entah mana dari tempat di hatinya yang tersisa. Tidak sekalipun aku merasa ada namaku di hari-harinya. padahal, aku melihat harapanku di matanya. Akh...

Dan anehnya, aku tak bergeming sedikitpun untuk menyingkir dari hidupnya. Hariku terasa sepi bila seharipun dia tak menemuiku untuk sekadar berbincang menghabiskan waktu pergantian mata kuliah. Selalu juga dengan canda tawa yang mencerahkan kami, teman satu kelasnya.

Sampai kali ini. Sore dalam sepoi angin bermendung tipis,secara sengaja ia mengajakku ke tempat sederhana ini,rumah pohon hutan raya yang hanya berjarak satu jam dari rumahku. Kami tidak hanya berdua, tapi bersama juga beberapa teman. Kami mengisi hari Minggu yang tumben kosong tanpa kegiatan kampus.

Awalnya kami berenam bergerombol menikmati jagung rebus di tepian danau hutan raya ini. Jaket tebalku tidak mampu menghalau dinginnya udara, tapi tawa canda lepas kami, sedikit menghangatkan suasana. Tanpa kusadari empat temanku mulai pergi menjauh dengan berbagai alasan, ada yang ke kebun anggrek atau sekadar jalan menyusuri tepian danau lainnya. Kami masih bisa saling melihat sosok. Di sampingku, kulihat Cah masih asik menghabiskan jagung rebusnya dengan sesekali memperbaiki letak jaketnya.

"Ta,udara segar seperti ini perlu juga kita nikmati, yaach..sebulan sekalilah. Asik,kan?" ia meminta persetujuanku.
"Asik sajalah kalau kita ada waktu" balasku sekenanya, sambil melihat Rey yang mencoba meraih rakit di tepian sana. Rey melambaikan tangan mengajak kami mendekatinya, mungkin diajak menaiki rakit. 
"Harus ada waktu untuk kita,Ta." Cahyadi mengelap tangannya yang belepotan dengan butiran jagung, disisihkannya batangnya pada tas plastik sampah di sebelahnya.
 "Kita?" mataku membalas tatapan yang meneduhkanku sepanjang selama ini.
"Ya,kita. Aku dan dirimu" kali ini ia meraih pundakku, memeluk lembut. Aku tak melepaskannya, karena sesungguhnya aku merasa bahagia. Merasa sudah memiliki dan dimiliki hatinya, hidupnya.
"Aku tidak mungkin lagi menyembunyikan perasaanku. Sudah lama ingin mengatakan." diciumnya dengan sayang  keningku. Dan aku merasakan kehangatan yang dalam memancar dari seluruh pelukannya.

"Tak kan ada cinta yang lain lagi,Ta."
"Ijinkan aku memiliki waktu selalu bersamamu. Hanya bersamamu. "

Dan, cinta telah memilihku...
Kali ini, pada senja yang mulai bergerimis di rumah pohon hutan raya.

my brightness in heaven,
100917




















 





















Jumat, 11 Agustus 2017

sejak kau pergi

menghitung takdir di matamu
tak pernah mengekal sungguh

serupa penari meliukkan jiwanya
bertabuh rindik

hanya rasa
tak bernama
lantaran mantramnya
selarik rindu yang sederhana

berharap sampai ke tempatmu
bersama sore yang kering oleh angin Agustus

120817




Sabtu, 29 Juli 2017

Bahkan

" Dalam keterbatasan angan, aku mencoba lagi menata setiap kenangan yang pernah ada bersamamu. Riuhnya  terpenjara dalam sekat ruang dan waktu, yang aku sendiri tidak pernah tahu , pintu hati sebelah mana harus kubuka lagi, sekadar bisa bertegur sapa dengan senyummu yang menghangatkan jiwa. Pernah kucoba untuk menghentikan alirannya, tapi selalu tersesat pada sisa mimpi kita berdua."

Kertas putih usang dengan tulisan tangan yang sangat kukenal, kutemukan di sudut laci meja kerja yang berdebu, karena hampir setahun ditinggal pemiliknya. Dalam diam, kuulangi lagi membacanya. Kuulangi  membacanya. Akh, tak layak  kupertahankan, hanya menambah lipatan sunyi.

"Berikan kertas itu padaku, biar kuturut membacanya." diam-diam kau perhatikan kegelisahanku. Hening beberapa jenak. Lantas, kau meraih pundakku, merapatkan pada lenganmu. 
"Kita sedang berjalan menuju masa depan. Kekuatan kita bukan pada masa lalu lagi. Tapi saat ini, saat kita berdua berjanji saling menjaga, saling meneguhkan untuk keindahan masa depan. Berjanjilah untukku sekali lagi saja, seperti yang pernah engkau bisikkan di tempat istirahat terakhirnya. Kali ini, untukku saja, Ibu."

Bahkan, lelaki kecilku yang kini beranjak remaja, lebih mampu sembunyikan kerapuhannya. Kuremas kertas yang pernah kutulisi tentang ayahnya, seminggu setelah kepergian abadinya. 
Dan, air mataku membatu.

291016 - 290717

Jumat, 30 Juni 2017

Seperti yang engkau minta

Pagi hampir sempurna, ketika dering telepon rumah membangunkan para penghuninya. Dengan tergagap aku menuju ruang tamu, kaget karena bunyi telepon sepagi ini, pun karena bangun kesiangan. Keduanya menyebalkan.

"Hallo..."
Diam. Ga direspon. Dan aku masih setengah sadar.
"Siapa nii..?"
Juga ga direspon. 
"Ish...ganggu aja" kututup telepon.
Segera sadar untuk secepatnya mandi, byurrrr...

Tiga  puluh menit kemudian, ku sudah tiba di kantorku, di meja kerjaku dan hampir telat sepuluh menit, jika terhadang macet. Syukuuur lancar jaya lalu lintas sehabis libur Lebaran. Tepatnya, orang - _orang masih otw dari kampungnya menuju ibu kota, maka jalanan masih -seperti lewat jalan setapak menuju pekuburan-  sepi.

Sembari mengaduk segelas teh manis,aku masih memikirkan siapa gerangan penelepon pagi yang tidak mau menjawab sapaanku. Kuambil sepotong kue berukuran agak lebar, untuk sekadar mengisi perutku yang tadi tidak sempat sarapan. Setiap pagi kantor tempatku bekerja menghidangkan kue-kue, sebagai ucapan selamat datang bagi karyawannya. Hebat,kan? He he he... Kubawa ke meja kerjaku. Harumnya teh bandulan mengingatkanku pada nenekku, penyruput setia teh bandulan. 

Sesudah berdoa dalam diam, memohon kelancaran kerja pagi ini, aku mulai bekerja menata satu demi satu setiap hal yang seharusnya kuselesaikan. Sekitar lima belas menit saja, tiba-tiba sms di handphone memberi tanda. Kutoleh saja. Pikirku, pagi-pagi ngeladenin sms sama dengan menunggu surat PHK dari atasanku. Kuabaikan saja. Dan aku berhasil, setidaknya sampai waktu makan siang.

Satu porsi nasi soto ayam siap kusantap dan minumnya, cukup segelas air putih hangat. Sepersekian detik,  kuingat sms yang tadi belum sempat kubaca. Baca dulu atau makan dulu ya..baca,makan,baca,makan,ba...
kusruput kuah soto..hmm..sedap..dan sekejap saja, makan siang sudah kutuntaskan. 

Kantor tempatku bekerja memberi waktu satu jam saja untuk makan siang. Lumayan, karena biasanya mulai dari memesan makanan sampai kenyang menghabiskannya, butuh waktu 30 menit, itu juga kalau ga banyak yang antri. Kantin memang tidak begitu luas. Kulirik jam tanganku. Lumayan masih ada waktu. 

"Ish..ganggu aja" Sms pertama. Deg. Kok,dia bisa menirukan omonganku tadi pagi di telepon? Kok dia tahu nomer HP ku? Sms berasal dari siapa ya? Omigod...tanpa nama

"Aku sekarang sudah tidak lagi berstatus mahasiswa abadi, kesayangan ibu-ibu dosen cantik dan muda, seperti tuduhanmu. Ada nada cemburu setiap kau utarakan hal itu,he he he..senyum dong sayang. Aku sudah wisuda tiga bulan lalu. Dan kini sudah bekerja." Sms kedua melimbungkan diriku, dan aku memegang tepian meja, untuk menstabilkan hatiku yang berderu kencaaang.

"Aku akan menjadi pacarmu lagi,kaan? Seperti yang engkau minta dulu, padaku?" 
" Selesaikan dulu kuliahmu dan kerja, baru aku mau jadi pacarmu lagi. Dan...selama menunggu semua itu, kita jalan sendiri-sendiri saja. Mungkin, saat kau sudah diwisuda dan  bekerja aku masih sendiri. Mungkin juga,aku sudah tidak sendiri." Aku masih mematri kata-kata perpisahanmu,tepatnya kata-kata dirimu memutuskan cinta kita. Saat itu aku memang tidak ingin membantah apapun." Sungguh, sms ketiga membuatku tercekat. Dia? Omonganku dua tahun lalu masih ia simpan baik-baik? Akh...terbuat dari apakah hatiku ini? Kugigit bawah bibirku untuk melanjutkan membaca sms keempatnya.

"Semoga engkau masih sendiri,Hani. Kalaupun sudah tidak sendiri, aku tetap berterima kasih, karena sudah memberiku kekuatan untuk menyelesaikan kuliah. Dari aku, kekasih yang terbuang. " 

Mataku terasa hangat, air mata merembes perlahan. Kubiarkan saja, toh tidak ada siapapun yang memperhatikan, karena setiap pengunjung kantin terlihat lahap menyantap makan siangnya.

"Aku masih sendiri,cintaku." balasan pendek saja yang sanggup kutulis.  

Entah apa rasaku dua tahun terpisah jarak dan waktu. Aku kembali ke kotaku untuk bekerja sesudah wisuda, dan dia tertatih-tatih menyelesaikan kuliahnya, di kota kelahirannya. Waktu itu aku kacau, karena dia sudah semester sepuluh dan belum ada tanda-tanda untuk berjuang menyelesaikan kuliahnya. Aku tidak suka. Aku putuskan sepihak. pacar macam apa aku,ini? Pernah kusesali diriku.

Lalu  kukembali ke kotaku dan bekerja sekaligus mencoba melupakannya. Ternyata aku sudah melewati kesendirianku selama dua tahun ini. Entah kekuatan apa yang mengikatku sehingga tidak kubalas juga pernyataan cinta dari Gio teman satu kantor tapi beda divisi. Terlebih, Marcell teman SMA yang sampai kini masih menginginkanku menjadi pendamping hidupnya. Akh...

"Kriiing..." handphone ku berdering.
Nomer yang sama.
Dan aku?
 Aku tidak sanggup bicara langsung,sebelum dia menerima permintaan maafku...


Pupus Juni 2017
cinta memang misteri...


Senin, 12 Juni 2017

Kemana Piala Hatimu?

Hujan Bulan Juni seperti pada puisi Sapardi Djoko Damono, memang tak pernah sungguh ada terus-menerus, setidaknya pada bulan Juni ini. Walaupun pernah ada, ia tak lebih dari sapuan air yang melintas tiba-tiba, mungkin hanya ingin mengabarkan sisanya. Dan, aku, menyadari sebagai satu kesia-siaan menunggumu, seperti menunggu turunnya di hujan bulan Juni pada puisi fenemonal itu.

Janganlah,engkau sampaikan bahwa hari kedua puluh satu akan mengabariku, di mana titik terakhir posisimu. Ini hari, bahkan sudah berapa puluh kali 21 hari yang engkau janjikan. Bodohnya, aku masih menunggui hal itu terwujud dan engkau secara mujisat ada di depanku, membawakanku selingkar cincin yang ada namaku, dan selingkar  lagi ada namamu. Lalu, kita akan saling memakaikannya di jari manis sebelah kiri, sebagai tanda sah pertunangan kita.

"Melamun tentang apa, Ulan?" Mamaku memergoki kesendirianku di sore bermendung itu.
"Hanya mengingat kenangan kecil,Ma." kataku jujur.
"Sudahlah,sayang,Tidak usah mengingat dia lagi. Masih banyak hal yang bisa Kau pikirkan, selain dia,dia, dan dia." Mama mengusap pundakku, menasihatiku dengan suaranya yang senantiasa meneduhkan.
Aku hanya tersenyum kecil dan memilih masuk kamar lagi, menyisakan raut wajah sedih mama.

Kuakui,aku tak pernah bisa melupakan semua tentangnya. Bagiku, dia masih seseorang yang akan menepati janji. seseorang yang akan sungguh memberikan kebahagiaan dan mengisi kebahagiaan dalam mimpi masa depan kami. Aku masih setia pada pperasaanku. pada penantian 21 hari yang ia janjikan, setidaknya sampai pagi tadi, ketika kuterima titipan surat dari temannya temanku, yang baru pulang dari kota seberang.

"Maafkan diriku,Ulan. Tak ada hari ke-21 lagi di antara kita. Aku memang layak kau sebut lelaki pengecut, karena membiarkanmu berharap untuk hari ke-21 kita. Aku, telah menikah dengan gadis setempat, karena aku tidak tahan dengan kesepian yang menderaku saban hari. Waktu itu, Engkau masih bersikukuh tidak mau bermukim di kota terpencil ini, segera setelah kita menikah, seperti angan--angan kita. Maka, aku membuat skenario 21 hari itu, setelah kunjungan terakhirku di rumahmu. Maafkan, bahwa sebenarnya waktu itu, hatiku sudah mendua...." Tak pantas lagi kubaca surat tersebut. Dia sudah mengakui kepengecutannya, bagiku itu sudah cukup.

Cukup juga untuk sekadar tahu, kemana piala hatimu,telah kamu sematkan.

Kutahu juga, kelak akan kusematkan  piala hatiku, pada seseorang yang dengan tulus dan penuh kehangatan merelakan pundaknya,menjadi tempatku beristirahat,jika hatiku sedih.

12 Juni,2017
kisah teman dari temanku...


Jumat, 05 Mei 2017

Jika

Sore yang masih menyisakan terik. Aku sudah bersiap di atas sepeda motor kesayanganku, untuk pulang ke rumah, melepaskan penat kerja seharian, saat handphoneku berdering.

" Jika, dalam waktu lima belas hari aku tak mengabarimu, berarti aku sudah pergi jauh
Tidak perlu kamu menungguku apalagi mencariku.
Kebaikan dan cintamu sebagai teman akan kukenang,
dan aku
kalau aku boleh memilih,
aku akan rekarnasi lagi menjadi sahabatmu,"

Cinta berbicara terbata-bata di telepon genggamnya jauuuh dari kotaku,
Bahkan jauuuh dari pulau tempatku tinggal.

"Kamu kenapa?"
"Baik-baik,saja kan,Cinta?" aku berondong dia dengan penasaranku.

Bukannya jawaban yang kuterima, tetapi sesenggukan tangis yang mengilukan hati.

" Maafkan,aku, tak pernah sanggup sampaikan hal ini kepadamu,Han.."
" Cin...,ka..kamu kenapa?"
" Aku terkena leukimia,Hani"
 Tercekat aku.
"Kamu pasti becanda. Kamu pastii boongin aku,kan,Cin?" konyol sekali aku bertanya

Tuuuuut..bunyi HP ditutup mengakhiri  percakapan di sore yang masih menyisakan terik. Tadi, aku baru saja sampai di parkiran, hendak bersiap pulang. Masih tak percaya, Dan, aku sungguh tak percaya pada kabar yang kuterima. Kuambil botol minum air mineralku, seteguk saja cukup untuk menenangkan deritaku. Kutelepon balik Cinta.

Sekali kutelpon, dia membiarkankan teleponku berteriak-teriak memanggil namanya. Tuut..tuuuut...tuuut...tuuut...tuuut...tuuut..tuuut..mati

Tidak putus asa, kupanggil lagi Cinta lewat lengkingan teleponku.
Idem. Cinta tidak menjawab.

Akh!

Kupanggil lagi, tuuut...tuuut..tuut.
Dan, kali ini, desahan nafas berat yang kudengar

"Hani,," lirih suaranya.  Aku lebih melekatkan lagi handphone ku ke telinga, aku ingin mendengar suaranya lebih dekat,lebiih dekat  dan lebiiiiih dekat lagi.

"Bicaralah,Cinta, aku mendengarkanmu." berusaha tenang meskipun hatiku gemetar

"Dokterku sudah memvonisku, mungkin aku bertahan dalam lima belas hari saja."
" Aku dirawat di rumah sakit,Hani. Diminta menghubungi saudaraku" suaranya pelan dan aku telah menahan tangisanku supaya tidak pecah dan terdengar olehnya.

"Sipapun tidak kuberitau,selain dirimu." suranya sangat lemah. Dan telepon terputus.

Aku menangisi percakapan di teepon sore itu. Sore yang menyisakan terik,bahkan menyisakan kerontang di hatiku.

Selama lima belas hari tersebut, aku selalu berusaha meneleponnya, tapi HP miliknya tak pernah bisa kuhubungi lagi. Sedari waktu itu, hingga kini aku berada di tanggal yang sama, Lima Mei setahun lalu...

Cinta adalah sahabat baikku. Seseorang yang menyayangiku layaknya saudara, sekaligus seseorang yang sangat keras memilih sikap hidup.

" Dari pada aku selalu dalam pertengkaran dengan pasanganku, lebih baik aku yang pergi menjauh darinya. Biarlah dia bahagia dengan pengkhianatan cintanya atas cintaku." katanya menjawabi keherananku, saat dia memilih tinggalkan suaminya yang selingkuh dengan perempuan lain. Saat itu pertengahan tahun dua ribu empat belas. Dia merantau ke ujung Pulau Timor,. Dia menemukan dirinya di sana, dengan kegiatannya bersama penduduk lokal. lebih banyak kulihat dengan anak-anak, mungkin karena perkawinannya belum dikaruniai anak. Pernah dia kabarin aku beserta foto-foto kegiatannya. Tapi, dia tidak pernah mau menyebutkan dia di desa apa tinggal, atau di kota mana. Hanya katakan, aku di ujung Pulau Timor yang eksotik.

Saat aku memohon dikenalkan dengan teman-temannya di sana, dia tidak pernah berkenan.
"Bukan urusanmu." jawabnya ketus, tetap lewat telepon saja.
"Lho..wajar dong, aku tahu siapa temanmu di sana, atau teman yang menjadikan kau saudara, karena kau sendirian di sana." debatku pada dia

"Urusanmu hanya denganku. Tidak ada urusan dengan mereka, Ngerti?"  Dia tutup telponnya, dengan marah pastinya.

 Sejak saat itu, aku menghargai privacy- nya. Pikirku, lama-lama pasti dia akan cerita keberadaannya.
Tapi ternyata pikiranku selamanya salah. Tidak sekalipun dia pernah menceritakan keberadaannya,hingga saat terakhir dia telepon aku, saat aku di parkiran itu.

Cinta,perempuan tangguh, anggun dan pintar, sudah memilih jalannya.

Aku tidak tahu kabarmu sampai hari ini....

5517
2110





Kamis, 04 Mei 2017

kepada cinta yang berjarak

kalau boleh aku memilih cinta,
maka akan kupilih cinta yang menyisakan rindu
karena rindu mencahayakan jiwa
karena rindu membuncahkan rasa

kalau boleh aku memilih cinta,
maka aku akan memilih cinta yang meyisakan riuh
karena riuh tak menjajjikan sunyi

kalau boleh memilih...


Sabtu, 29 April 2017

Apa kabarmu ?



Apa kabarmu,hari ini?
tujuh purnama sudah kisah kita dalam diam,
segala rindu masih untukmu
sungguh, tak akan da puisi yang dapat kuselesaikan lagi
lantaran diksinya telah kau bawa pergi ke surga abadimu...

❤️ hen.291016 - 290417

Jumat, 21 April 2017

Berbeda karena Menulis

Perempuan yang sudah menuliskan sejarahnya adalah dia yang juga mengalami berbagai perihal ketidakadilan. Adalah dia yang ditakdirkan waktu untuk mengalami batasan hidup .

Kendatipun demikian, Ia tidak pernah larutkan dirinya dalam belenggu feodalisme. Ia lepas bebaskan dirinya dengan caranya sendiri.

Semua diawali dengan menulis. Menulis surat pada teman baik yang memiliki hal-hal yang sangat berbeda dengan dirinya.

Bersurat pada orang-orang dari bangsa yang berbeda, bahasa dan budaya yang sangat berbeda, tetapi bisa karena Ia menghargai perbedaan.

Seorang Kartini pada jamannya sudah mengahrgai perbedaan, memahami arti multikultur bahkan menjalaninya,
Sungguh suatu apresiasi yang tinggi, patut diberikan untuk perempuan hebat ini. Bagaimana mungkin kita tidak ikut melakukannya padahal di jaman ini, kita lebih maju dan lebih teknologis.

Dengan memahami perbedaan,
Dengan berbagi pikiran dan perasaan.
Dengan saling berbagai ide dan pendapat lewat tulisan, lewat surat-menyurat.
Ia peroleh berbagai wawasan baru dan  mengantarkannya untuk memikirkan emansipasi wanita di Indonesia.

Ia perempuan pahlawan di negeri ini.
Ia pahlawan yang berbeda, karena Ia berjuang dengan tulisan.

Kuhargai dirimu, Kartini...


21 April 2017

Selasa, 11 April 2017

dan, Purnama Raya mencahayakan hatiku...


Kutahu dalam bulan kutemukan cahaya indah karena aku ingat lirik lagu,
 " Ambilkan bulan ,Bu, untuk menemani tidurku yang lelap di malam gelap.."

dendang masa kecil yang membahagiakanku, kala itu

Namun kini,
semesta menulis malam dengan purnama raya yang mencahayakan hatiku
walau harus sendiri, tanpamu
kutautkan rasa sunyi pada ranting pohon
seperti, pungguk merindukan bulan

Namun kini,
pada batas kaki langit yang tak sempat lagi kita pijak bersama,
lantaran menjauh bersama angan dan mimpi
lelah terabaikan atas nama cinta
kutautkan gelisahku pada bintang yang setia menemanimu sepanjang malam

Namun kini.
engkau tawarkan bayang-bayang yang sesungguhnya kusadari,
tak mungkin menyatu, karena engkau memang sebatas bayangan

dan kini,
purnama raya mencahayakan hatiku
sejenak
sunyi


di gigir malam; purnama kedasa,sebelas april dua ribu tujuh belas
🌕 Uda ⭐








Sabtu, 08 April 2017

Separuh jiwaku

mungkin lebih baik menghitung hujan, 
barangkali jumlahnya setara dengan air mata yang merintik di hati.


Hujan Bulan Apri selalu datang sore-sore
membuat suasana romantis
dan hari penuh puisi, jika hati ingin menuliskannya.

meskipun begitu, tetap tak dapat kuselesaikan satu puisi pun untukmu,
lantaran diksinya telah kau bawa pergi jauh ke surga abadi
bersama separuh jiwaku.

hen - uda




Selasa, 28 Maret 2017

Senin, 27 Maret 2017

Pada Malam Penuh Ogoh-Ogoh

Seungguhnya tidak bisa kunikmati wujud para Bhuta Kala seperti yang digambarkan dalam setiap ogoh-ogoh yang dibuat. Sehingga aku jarang menonton pawai ogoh-ogoh menyambut Nyepi.

Mungkin karena aku tidak suka kekasaran rupa maupun hati. Atau, mungkin,-  lebih parah lagi-, aku seorang 'penakut'. Melihat rupa Bhuta Kala dalam patung buatan manusia saja aku tampaknya tidak berani memandangnya lama-lama, apalagi membayangkan wujud sebenarnya...

Tapi aku pahami, bahwa di dunia ini, hidup berdampingan dunia nyata dan dunia tidak nyata. Sekala dan Niskala. Ada yang kelihatan dan ada yang tidak kelihatan. Maka kita saling menghormati, begitu pesan Bapakku, puluhan tahun silam.

Kusadari, aku lebih nyaman memandang wajah yang memancarkan kebaikan, sekalipun itu ciptaan manusia  dalam rupa karya seni.  Apalagi, memandang wajah yang memancarkan kebaikan ciptaan Tuhan Maha Pencipta.

Selamat Menyambut Nyepi Saka 1935, buat semua saudaraku yang merayakan.Sekalipun berbeda, kuhormati tradisi luhur  ini.


Malam Pengerupukan, 27 Maret 2017

Minggu, 26 Maret 2017

Hujan Sedari Pagi

Selarut ini, hujan tidak pernah hentikan diri mengunjungi ibu bumi.
Kusyukuri sebagai berkat
Kumaknai sebagai kesetiaan alam menuju keseimbangan universal.

Adakah kita juga setia pada keseimbangan?

Apakah aku setia pada keseimbangan?
Sedang menuju ke arah tersebut..

Terima kasih;  hujan sedari pagi, telah menginspirasiku.

Menjelang NYEPI SAKA 1939



Selasa, 21 Maret 2017

Awal hari yang baru



Terima kasih Tuhanku, Lord Jesus...
Engkau telah jaga tidurku dalam sunyi sendiriku, walaupun kuingin terlelap...

Sepagi ini aku ingin menuliskan perjalanan imajiku yang Engkau kawal aku dalam spiritual manusiawiku yang tidak pernah terpecahkan misterinya;  adalah mimpi.

Jika mimpi dapat mengembalikan kekasih jiwaku yang telah pergi ke rumah abadinya, bolehkah aku berada dalam mimpi tersebut untuk selamanya?

Apabila mimpi, menautkan rasa bungahku untuk dapat memeluk dan dipeluk kehangatan cinta kekasih jiwaku yang telah pergi ke rumah abadinya,  pantaskah aku tak ingin pergi dari mimpiku?

Seandainya mimpi, membiarkan aku berbincang banyak hal dengan kekasih jiwaku tentang; laraku, bahagiaku, sakitku ditinggal olehnya, ijinkanlah aku bermimpi tentangnya kapan saja, bilamana saja, dimana saja.
Ijinkanlah....

Sungguh, tiada mudah tanpamu...
Sekalipun atas nama mimpi, tempat imajiner yang tak pernah kutahu alamatnya.

Doaku senantiasa untukmu, damai dalam keabadiaan.



💑 rindu yang sangat,pada Hen 👫
05.27 wita


Selasa, 07 Maret 2017

Saat teduh

Tidak banyak yang tahu bahwa perasaan tidaklah dapat disembunyikan tanpa ruang yang memang disediakan untuk disembunyikan.
Perasaan  selalu bicara diam-diam, lamat-lamat dan lembut.

Nuansa malam lah yang memberi ruang untuk membuka perasaan.
sedalam-dalamnya
sejauh-jauhnya
sesembunyi-sembunyinya
semau-maunya

Selamat malam,cintaku...

(hen)

Jumat, 03 Maret 2017

Via Dolorosa

Seperti angin sepoi yang datang diam-diam tanpa kata, hanya rasa dan kisah.
Seperti itu pulalah, saat kurasakan hadirMU pada jejak purba yang terus, selalu , dan  senantiasa menelisik, menyisir setiap perhentian pertama, kedua, ketiga, hingga keempat belas.

Atas nama siapakah, apakah atau bagaimanakah jika semua yang berkelindan menghunjam perasaan di atas perasaan?

Pada kuasa manakah harus kubalaskan untuk kuat menopang tubuhMu yang jatuh dari tiang penyaliban, seperti Bunda lakukan?

Dengan apakah harus kuhapuskan derita di wajahMu, karena telah koyak  kain  yang selama ini membungkus kefanaan diri?

Janji apakah yang layak dan pantas kuikatkan pada hatiMu yang begitu baik, ketika Kau ijinkan bundaMu, juga menjadi bundaku, kini dan sepanjang segala masa...

Mampuku kini hanya bersimpuh di nadiMu,
seraya memohon dalam-dalam;
bila aku lemah
jatuh tercampak di tanah
tolonglah tegakkan aku lagi.

Uda - Love Jesus Christ
Jumat Pertama, at Chatedral
Via Dolora







Minggu, 19 Februari 2017

Bersama angin, katamu suatu pagi...

Pada titik hati terdalamku
kusampaikan rasa yang tak lagi dapat kumaknai utuh,
kecuali atas nama cinta,
kataku,suatu pagi.

Aku juga tahu, dari titik hati terdalammu,
engkau tak pernah benar-benar rela 
untuk mengabaikan sebuah rasa
karena ia senantiasa menjadi bayangmu,
katamu,suatu pagi.

Lalu pada belahan hati mana
akan kau genggam keraguan, 
jika kenyataan akan membahagiakanmu?,
katamu lagi,suatu pagi.

Entah pada batas atas mana,
engkau akan membiarkan jarak terjalin antara kita,
padahal kerinduan untuk melihatmu kembali, 
terbatas angan
tapi selalu kaujanjikan akan datang bersama angin,
kataku suatu pagi,kepadamu.

di kapel ini,
aku ingin bertemu,
kita akan bertemu,
bersama angin yang menyusup diam-diam 
dalam doa yang tidak putus kudaraskan
hanya untukmu,
di satu pagi,
kepunyaan kita.

hen.da 💕






Rabu, 15 Februari 2017

Tanpa Mawar. Tanpa Coklat

Empat belas Februari... 

Seperti kisah klasik Romeo dan Juliet, tidak akan habis untuk diceritakan, menceritakan dan terceritakan dalam pusaran waktu dan peradaban manusia.

Ia seperti nyala lilin yang diam-diam meleleh untuk menerangi kegelapan. Seperti halnya cinta dan kasih sayang yang menjiwai setiap kali kepingan empat belas bulan ini hadir di tengah-tengah umat manusia,seperti itulah  kasih sayang. Diam-diam memberikan kekuatannya pada setiap insan di dunia. Meleleh menjadi cahaya hati setiap insani. 

Pada tempat sebenarnyalah jika kasih sayang itu diberikan dan diterima setiap waktu,walaupun tanpa mawar, tanpa coklat. karena cinta untuk cinta.


💖uda 💖


Senin, 13 Februari 2017

Menanti Hujan Berhenti

Seperti berjanji pada bumi, langit tak berhenti menumpahkan hujan sedari pagi. Jalanan menjadi kuyup dan orang-orang berkendara sepeda maupun motor, berusaha serapat mungkin menutupi badannya agar tidak basah oleh teritis airnya.

Begitupun aku, yang pergi dan pulang ke tempat kerja berteman hujan. Gigil di balik sweater coklat, hadiah terakhirmu, saat ulang tahunku tahun lalu.

Dan siang ini aku menunggu. Menunggu hujan berhenti. Sesungguhnya aku tak suka menunggu. Apalagi  menunggu seseorang di bawah hujan. Membosankan. Seperti menghitung air yang berlomba meloncat, membasahi ujung sepatu kerjaku. Tak pernah tahu, berapa banyak dan berapa basah yang menyusup diam-diam ke ujung kaki. Tapi aku harus menunggu di sini karena kita sudah berjanji. Berjanji di tempat favorit kita ini. Warung nasi soto,tempat kita singgah sepulang kerja, jika pagi terlambat bangun dan tak sempat masak untuk lauk seharian.

Sedikit beringsut dari kusi panjang terbuat dari sisa besi usang, kusisihkan  tempat untukmu duduk.

"Aku sengaja diam dan terus berusaha memahamimu, bukan berarti aku tidak bisa marah dan kesal." kataku mengawali, dan kamu hanya memandangku sepintas.

"Aku hanya ingin kamu pahami, akulah orang yang selama ini selalu bersamamu dalam setiap situasi. Kamu tidak lupa itu,kan?" lanjutku dan kamu hanya tersenyum sembari meraih tanganku yang dingin oleh hujan dan perasaan.

"Bagaimanapun, aku tidak pernah menyesali yang pernah terjadi. Kamu tetap orang yang sudah membuatku bahagia sepanjang hidupku." berat suaramu terdengar melawan  hujan.

"Setidaknya, kita sudah saling belajar menerima kekurangan dan kelebihan." tambahanmu menghapus sedikit keraguanku.

"Akan menjadi kenangan indah, bahwa kita pernah berjalan bersama untuk tujuan yang sama, sebelum kita saling meninggalkan." kali ini suaramu tertahan oleh tangis. 

Aku tak mampu berkata-kata apapun. Hanya memandangmu. Memandang wajah penuh cintamu yang selama ini senantiasa menjaga hidupku. Perlahan-lahan mataku menghangat oleh tangisan, mengaburkan pandangan. Kugenggam erat tanganmu. Kamu genggam erat tanganku. Sungguh tak ingin ada perpisahan. 

Pelan kamu usap-usap seluruh jemariku. Mulai menarik tanganmu menjauh dari genggamanku. Terasa lemah setiap perasaanku,  Aku merasakan dingin yang menyengat serta gumpalan hampa, hingga akhirnya kita tak lagi saling berpegangan. Hanya saling menatap lekat, memendam rasa yang tak bernama lagi...

"Ibu, nasi sotonya keburu dingin, nanti ga enak dimakan." Bu Diah menjawil tanganku, menghentak imajiku,bersamaan dengan hujan yang semakin menderas di luar sana.

"Uhff..ya,Bu,ya."gelagapan aku menjawabi.

"Tidak baik mengingatnya terus-menerus dalam kesedihan. Bapak sudah damai di surga. Ibu harus kuat demi anak-anak, ya Bu." perempuan penjual nasi soto langganan kami, memeluk pundakku. 

"Makanlah." ulangnya lagi.

Aku berusaha tersenyum. Kuah soto telah menjadi dingin saat suapan pertama. 

kupandangi hujan pada setiap garis alirannya. Kutahu dirimu saat ini juga menikmati nasi soto bersamaku, walau dalam ruh cinta kita, gumamku. Hujan semakin menderas, entah kapan akan berhenti.


 (satu siang,31 Januari 2017)








Karena menulis adalah melukis kata

Menulis adalah melukis kata hati di atas kanvas emosi dan jati diri.

Kekuatan kata-kata terkadang tidak pernah terpikirkan oleh siapapun.
Kata-kata hanya sebatas kata yang dituturkan lalu dipahami setelah itu menjadi onggokan usang perasaan.

Padahal kata adalah lebih dari sekadar ungkapan. Ia bisa menjadi monumen hati bagi setiap perasaan, bagi setiap pikiran jika ia dirangkai menjadi frasa,klausa,kalimat dan pargraf pada sebuah tulisan, teks karya sastra yang mengharu biru perasaan, Atau, menjadi teks yang memperkaya pengetahuan pembaca lewat teks nonsatra.

Maka menulislah, karena tulisan akan mengukirkan namamu pada sejarah peradaban, kini dan sepanjang segala masa.