Laman

Jumat, 30 Juni 2017

Seperti yang engkau minta

Pagi hampir sempurna, ketika dering telepon rumah membangunkan para penghuninya. Dengan tergagap aku menuju ruang tamu, kaget karena bunyi telepon sepagi ini, pun karena bangun kesiangan. Keduanya menyebalkan.

"Hallo..."
Diam. Ga direspon. Dan aku masih setengah sadar.
"Siapa nii..?"
Juga ga direspon. 
"Ish...ganggu aja" kututup telepon.
Segera sadar untuk secepatnya mandi, byurrrr...

Tiga  puluh menit kemudian, ku sudah tiba di kantorku, di meja kerjaku dan hampir telat sepuluh menit, jika terhadang macet. Syukuuur lancar jaya lalu lintas sehabis libur Lebaran. Tepatnya, orang - _orang masih otw dari kampungnya menuju ibu kota, maka jalanan masih -seperti lewat jalan setapak menuju pekuburan-  sepi.

Sembari mengaduk segelas teh manis,aku masih memikirkan siapa gerangan penelepon pagi yang tidak mau menjawab sapaanku. Kuambil sepotong kue berukuran agak lebar, untuk sekadar mengisi perutku yang tadi tidak sempat sarapan. Setiap pagi kantor tempatku bekerja menghidangkan kue-kue, sebagai ucapan selamat datang bagi karyawannya. Hebat,kan? He he he... Kubawa ke meja kerjaku. Harumnya teh bandulan mengingatkanku pada nenekku, penyruput setia teh bandulan. 

Sesudah berdoa dalam diam, memohon kelancaran kerja pagi ini, aku mulai bekerja menata satu demi satu setiap hal yang seharusnya kuselesaikan. Sekitar lima belas menit saja, tiba-tiba sms di handphone memberi tanda. Kutoleh saja. Pikirku, pagi-pagi ngeladenin sms sama dengan menunggu surat PHK dari atasanku. Kuabaikan saja. Dan aku berhasil, setidaknya sampai waktu makan siang.

Satu porsi nasi soto ayam siap kusantap dan minumnya, cukup segelas air putih hangat. Sepersekian detik,  kuingat sms yang tadi belum sempat kubaca. Baca dulu atau makan dulu ya..baca,makan,baca,makan,ba...
kusruput kuah soto..hmm..sedap..dan sekejap saja, makan siang sudah kutuntaskan. 

Kantor tempatku bekerja memberi waktu satu jam saja untuk makan siang. Lumayan, karena biasanya mulai dari memesan makanan sampai kenyang menghabiskannya, butuh waktu 30 menit, itu juga kalau ga banyak yang antri. Kantin memang tidak begitu luas. Kulirik jam tanganku. Lumayan masih ada waktu. 

"Ish..ganggu aja" Sms pertama. Deg. Kok,dia bisa menirukan omonganku tadi pagi di telepon? Kok dia tahu nomer HP ku? Sms berasal dari siapa ya? Omigod...tanpa nama

"Aku sekarang sudah tidak lagi berstatus mahasiswa abadi, kesayangan ibu-ibu dosen cantik dan muda, seperti tuduhanmu. Ada nada cemburu setiap kau utarakan hal itu,he he he..senyum dong sayang. Aku sudah wisuda tiga bulan lalu. Dan kini sudah bekerja." Sms kedua melimbungkan diriku, dan aku memegang tepian meja, untuk menstabilkan hatiku yang berderu kencaaang.

"Aku akan menjadi pacarmu lagi,kaan? Seperti yang engkau minta dulu, padaku?" 
" Selesaikan dulu kuliahmu dan kerja, baru aku mau jadi pacarmu lagi. Dan...selama menunggu semua itu, kita jalan sendiri-sendiri saja. Mungkin, saat kau sudah diwisuda dan  bekerja aku masih sendiri. Mungkin juga,aku sudah tidak sendiri." Aku masih mematri kata-kata perpisahanmu,tepatnya kata-kata dirimu memutuskan cinta kita. Saat itu aku memang tidak ingin membantah apapun." Sungguh, sms ketiga membuatku tercekat. Dia? Omonganku dua tahun lalu masih ia simpan baik-baik? Akh...terbuat dari apakah hatiku ini? Kugigit bawah bibirku untuk melanjutkan membaca sms keempatnya.

"Semoga engkau masih sendiri,Hani. Kalaupun sudah tidak sendiri, aku tetap berterima kasih, karena sudah memberiku kekuatan untuk menyelesaikan kuliah. Dari aku, kekasih yang terbuang. " 

Mataku terasa hangat, air mata merembes perlahan. Kubiarkan saja, toh tidak ada siapapun yang memperhatikan, karena setiap pengunjung kantin terlihat lahap menyantap makan siangnya.

"Aku masih sendiri,cintaku." balasan pendek saja yang sanggup kutulis.  

Entah apa rasaku dua tahun terpisah jarak dan waktu. Aku kembali ke kotaku untuk bekerja sesudah wisuda, dan dia tertatih-tatih menyelesaikan kuliahnya, di kota kelahirannya. Waktu itu aku kacau, karena dia sudah semester sepuluh dan belum ada tanda-tanda untuk berjuang menyelesaikan kuliahnya. Aku tidak suka. Aku putuskan sepihak. pacar macam apa aku,ini? Pernah kusesali diriku.

Lalu  kukembali ke kotaku dan bekerja sekaligus mencoba melupakannya. Ternyata aku sudah melewati kesendirianku selama dua tahun ini. Entah kekuatan apa yang mengikatku sehingga tidak kubalas juga pernyataan cinta dari Gio teman satu kantor tapi beda divisi. Terlebih, Marcell teman SMA yang sampai kini masih menginginkanku menjadi pendamping hidupnya. Akh...

"Kriiing..." handphone ku berdering.
Nomer yang sama.
Dan aku?
 Aku tidak sanggup bicara langsung,sebelum dia menerima permintaan maafku...


Pupus Juni 2017
cinta memang misteri...


Senin, 12 Juni 2017

Kemana Piala Hatimu?

Hujan Bulan Juni seperti pada puisi Sapardi Djoko Damono, memang tak pernah sungguh ada terus-menerus, setidaknya pada bulan Juni ini. Walaupun pernah ada, ia tak lebih dari sapuan air yang melintas tiba-tiba, mungkin hanya ingin mengabarkan sisanya. Dan, aku, menyadari sebagai satu kesia-siaan menunggumu, seperti menunggu turunnya di hujan bulan Juni pada puisi fenemonal itu.

Janganlah,engkau sampaikan bahwa hari kedua puluh satu akan mengabariku, di mana titik terakhir posisimu. Ini hari, bahkan sudah berapa puluh kali 21 hari yang engkau janjikan. Bodohnya, aku masih menunggui hal itu terwujud dan engkau secara mujisat ada di depanku, membawakanku selingkar cincin yang ada namaku, dan selingkar  lagi ada namamu. Lalu, kita akan saling memakaikannya di jari manis sebelah kiri, sebagai tanda sah pertunangan kita.

"Melamun tentang apa, Ulan?" Mamaku memergoki kesendirianku di sore bermendung itu.
"Hanya mengingat kenangan kecil,Ma." kataku jujur.
"Sudahlah,sayang,Tidak usah mengingat dia lagi. Masih banyak hal yang bisa Kau pikirkan, selain dia,dia, dan dia." Mama mengusap pundakku, menasihatiku dengan suaranya yang senantiasa meneduhkan.
Aku hanya tersenyum kecil dan memilih masuk kamar lagi, menyisakan raut wajah sedih mama.

Kuakui,aku tak pernah bisa melupakan semua tentangnya. Bagiku, dia masih seseorang yang akan menepati janji. seseorang yang akan sungguh memberikan kebahagiaan dan mengisi kebahagiaan dalam mimpi masa depan kami. Aku masih setia pada pperasaanku. pada penantian 21 hari yang ia janjikan, setidaknya sampai pagi tadi, ketika kuterima titipan surat dari temannya temanku, yang baru pulang dari kota seberang.

"Maafkan diriku,Ulan. Tak ada hari ke-21 lagi di antara kita. Aku memang layak kau sebut lelaki pengecut, karena membiarkanmu berharap untuk hari ke-21 kita. Aku, telah menikah dengan gadis setempat, karena aku tidak tahan dengan kesepian yang menderaku saban hari. Waktu itu, Engkau masih bersikukuh tidak mau bermukim di kota terpencil ini, segera setelah kita menikah, seperti angan--angan kita. Maka, aku membuat skenario 21 hari itu, setelah kunjungan terakhirku di rumahmu. Maafkan, bahwa sebenarnya waktu itu, hatiku sudah mendua...." Tak pantas lagi kubaca surat tersebut. Dia sudah mengakui kepengecutannya, bagiku itu sudah cukup.

Cukup juga untuk sekadar tahu, kemana piala hatimu,telah kamu sematkan.

Kutahu juga, kelak akan kusematkan  piala hatiku, pada seseorang yang dengan tulus dan penuh kehangatan merelakan pundaknya,menjadi tempatku beristirahat,jika hatiku sedih.

12 Juni,2017
kisah teman dari temanku...