Laman

Rabu, 04 November 2020

 Malam Berhujan di Awal November


- teruntuk kisah yang tersimpan -


Kadang, jiwa yang kosong tak pernah sungguh ada yang menjadikannya untuk bilik pertemuan, sekalipun perasaan ingin menjamu sebahagia-bahagianya. Hati terlalu sungkan untuk mengakui , jika kisah tersimpan sesungguhnya melukai. Sekuat apapun merawat, menjaga dan mengikatnya. 

Fitri menggenggam erat kenangan yang diberikan Abang, lelaki paruh baya yang kerapkali menemani mimpi-mimpinyanya. Ya,mimpi-mimpi. Mimpi-mimpi yang tak semestinya dia rawat, dia jaga, apalagi dia ikat. Karena, toh, semua akan sia-sia...

Sam nama lelaki itu. Pejuang keras dalam hidupnya. Sederhana dan bersahaja semenjak Fitri mengenalnya dua tahun berlalu. Seharusnya dia tidak menerima perkenalan itu. Seharusnya dia tidak melanjutkan obrolan itu. Seharusnya dia tidak memberikan jalan untuk hati Sam tiba di pintu hatinya, tapi Fitri memilih membukanya . Seharusnya dia tak membalas senyum manisnya. Seharusnya dan ribuan kata seharusnya bertubi-tubi mendera pikirannya saat ini. Tapi, terlambat. Sangat terlambaat.

Jejak hatinya harus memilih satu diantara dua. Tapi keduanya pun hanya meninggalkan luka. 

Maka, larungkanlah seluruh kenangan pada hujan deras di awal November ini. Sudahi semua, karena tak ada harapan untuk kembali...

Biar semua hilang, bagai mimpi-mimpi yang disentakkan oleh kesadaran tubuh, bangun dari tidur nan lelap...


#sudut kamar, empat nopember duaribuduapuluh

#flyingwithoutwings



 

Sabtu, 20 Juli 2019

Akhirnya Kumenemukanmu

Terpisah oleh waktu membuatku gelisah.
Pertengahan Oktober saat terakhir kita. Aku tidak menginginkan perpisahan, tapi tetiba dirimu sulit dihubungi.
Sudah banyak jalan kutempuh agar kita terpautvlagi, tapi selalu gagal, gagal dan gagal lagiii

berusaha terus menerus, terus-terusan, selalu dan senantiasa
akhirnya malam ini kumenemukanmu

my blogspot.
yeay...menulis lagi

20 Juli 2019

Rabu, 31 Oktober 2018

Karena Waktu...

karena waktu tak pernah menjanjikan apa-apa
hanya menemani peziarahan
dari satu perhentian 
ke perhentian berikutnya...


Dienda, perempuan yang lekat pada kesendirian, menatap Emha dengan wajah tersenyum. Baginya, Emha adalah kebaikan yang Dia kirim , entah karena alasan apa...

Dienda tak pernah mau tahu dan tak ingin tahu.
Baginya, Emha seperti matahari yang memberinya kehangatan kala gigil mendera ringkih hidupnya. Matahari yang selalu menghangatkan lahir dan batinnya, meskipun teramat jauh adanya. Matahari yang memberinya cinta dan kasih sayang. Dienda tahu, apa yang kini digenggamannya seperti bayangan, ada tapi tak dapat dimiliki seutuhnya.

"Aku tak pernah tahu, apa alasanku menjalani semua ini denganmu, Kecuali rasa ingin menyayangi dan disayangi." Dienda menyandarkan kepalanya pada bahu lelaki yang kini menemani perjalanan hatinya.

"Tak perlu alasan untuk kita, karena aku memang menyayangimu. Itu saja." Emha mencium sayang kekasihnya.

Aku  merasakan ketulusan, tapi jauh di kedalaman rasa, ada sepotong hati yang telah kulukai, namun aku merasa tak mampu menepikan perasaan  ini.

"Salahkah aku, menyayangimu?" tanyaku kosong

Emha membalikkan badannya, memeluk Dienda, perempuan yang lekat dengan kesendirian. Ciuman di kening mendamaikan perasaan Dienda.

"Bahagiakanlah dirimu denganku, seperti aku bahagia denganmu," Emha menatapku lekat.

"Aku tak bisa jauh darimu," kataku memeluk erat dirinya. Sungguh, aku menemukan damai.

"Kita hanya sejauh bayangan,sayang. Aku ada di setiap perjalananmu." Emha mengusap lembut wajahku. Aku tengadah menatapnya.

Dienda menyadari setiap langkah yang kini Ia jalani seperti peziarahan batin yang sunyi, tanpa tahu hendak tiba di mana dan kapan.

Dienda tahu perjalanan hatinya mungkin akan terhenti ketika Emha menyadari, bahwa ada cinta yang lebih utama yang harus diperjuangkan, Ada cinta pertamanya yang menjadikan ibu bagi anak-anaknya.

Dan kesadaran itu, semakin menyudutkan perasaan Dienda.

Mereka saling menyayangi, tapi waktu tak pernah menjanjikan apa-apa.
Waktu  menemani Dienda untuk mengekalkan perasaan sayangnya, mentahtahkannya tapi sungguh tak ingin kehilangan.

Waktu menemani perjalanan angan-angan Dienda, untuk tetap berada dalam cinta Emha, tak ingin berhenti oleh apapun.



#mengakhiri Oktober
#flying without wings






Jumat, 31 Agustus 2018

Sementara Hari Semakin Malam

Clareta namanya. 
 Perempuan berambut ombak, bermata gelombang. Kulitnya coklat terpanggang matahari, setiap pagi, setiap siang, setiap sore. Dibiarkannya seluruh tubuhnya bercumbu dengan panas pasir, minyak bararoma menyengat dan topi pandan sisa suvenir turis dari Aussie, yang sempat dipuaskannya dengan pijatan lembut, seminggu lalu. 
Pantai ini terlalu menjanjikan khayalan untuk terbang ke Aussie mengubah kemiskinan yang melilit lahir dan batinnya sejak kanak-kanak.
"Ibu, aku kan sudah lulus SMA. Sudah enam bulan menemani pekerjaan Ibu memijit para tamu." katanya tadi pagi sebelum memulai pekerjaannya di antara pasir dan buih ombak. Dibaringkannya dirinya di pangkuan ibunya. 
" Aku ingin kerja kantoran . Aku lelah,Bu." keluhnya hampir tak terdengar. 
"Jangan lelah pada hidup,Nak. Karena hidup tak penah lelah menghidupi kita," perempuan yang menua bersama angin dan pasir pantai itu mengelus-elus rambut dan pipi anak semata wayangnya dengan penuh cinta. Dirasakannya perasaan anaknya sampai jauh ke lubuk hatinya. 
"Kalau saja Bapak tidak membiarkan dirinya direbut perempuan lain itu, tentu kita tidak bekerja seperti ini, kan, Bu?" Clareta menangis, tapi masih mengandaikan keluarga bahagianya, padahal jarak dan waktu telah menjauhkan Bapaknya dari rumah sederhana mereka. 
Lelaki yang disebutnya Bapak oleh Clareta, hanya lelaki egois yang meninggalkan Clareta pada usia kanak-kanak, saat dirinya kelas 3 SD. Meninggalkan trauma mendalam karena Claretta menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tuanya yang  berujung perceraian. 
Hati Claretta patah, sampai hari ini.
"Sudahlah, Etta, biar saja Bapakmu membawa perih luka kita. Mungkin dengan itu, dia masih tetap mengingat kita berdua."  
Suwitri, perempuan yang disebutnya ibu, sudah mematikan semua indra pengharapannya. Claretta bangkit dari pangkuan ibunya. Dipeluknya perempuan kesayangannya. 
"Ibu, ajari aku menjadi kuat, sepertimu." terisak-isak sepagi ini, seperti membasuh semua lelah yang baru dirasanya selama enam bulan, tak sebanding dengan lelah yang dirasakan ibunya membesarkan dirinya. Bertahun-tahun. Ibunya tersenyum. 
"Pasti. Kamu pasti bisa. Kamu akan menjadi perempuan yang lebih kuat dari aku, karena kamu terbuat dari seluruh doa dan cintaku." Ibu tersenyum dan mencium kening Clareta dengan sepenuh-penuhnya. 
Sesudah itu, mereka berpisah menuju tempat kerja masing-masing. Berusaha mencari wisatawan  yang mau memakai jasa mereka. Entah memintal rambut atau memijat-mijat tubuh mereka. 
Tapi sayang, hidup tak pernah mengabarkan kematian.
Percakapan di pagi itu,  sebatas  kenangan. 
Suwitri, perempuan pujaannya telah dipanggil Tuhan.  Sore itu mereka berdua tiba di rumah hampir bersamaan. Suwitri mengeluh kecil tentang sakit yang dirasa di bagian tengkuknya. Ia minta dibuatkan teh hangat selesai mandi. Tetapi, teh hangat itu tak akan pernah direguknya lagi.  Suwitri pergi dijemput takdirnya pada sore yang berhujan, di balai-balai kecil ruang tamu mereka.
Seluruh kerabat dan teman-teman pantainya berdatangan menemani Clareta. Doa-doa telah didaraskan, melambung tinggi mengantarkan perempuan kesayangan Clareta menuju surga abadi. 
Hati Clareta patah. Untuk kali kedua. 
 Satu-satunya harta berharga yang membuat dia merasa menjadi orang terkaya di dunia telah diambil Sang Pemilik Kehidupan.
Clareta menyimpan gelisah di bening mata penuh gelombang kehidupan.
Perempuan berambut ombak, bermata gelombang membiarkan dirinya diayun takdir, 
serupa hari yang semakin malam, lalu dini hari, dan menuju  fajar di esok pagi. 
Senja di Pantai Legian, keping terakhir bulan Agustus.

Kamis, 23 Agustus 2018

Arti Hadirmu

seperti bulan yang selalu bersama bintang
berjanji bertemu saat senja menemui malam
bercumbu di ketinggian
bercengkerama atas kebaikan matahari menemani ibu bumi
walaupun kadang saling berjauhan
tapi semesta merestui

dan kita,
dan kamu
dan aku
mengejar bayangan yang tak mungkin kita tangkap
seharusnya engkau di depanku
berjalan perlahan dan pasti
dan aku tak perlu susah menangkap bayangmu
karena telah kutangkap hatimu
jiwa ragamu
hingga hari kesudahanmu.

teringat Cahyadi di surga abadi





Minggu, 01 Juli 2018

Terikat bayangan

tak mudah melupakan untuk kedua kali
sapa pagi, suara dan perhatian 
membiru dalam ridu
mungkin aku salah waktu
tapi aku tak salah menyayangi

aku bisa merasa
kamu
tak bisa lepaskanku
dari hati dan rasamu
meski kita berjauhan

karena rasa seperti gelombang
dia mencari
dicari
menemukan
ditemukan

aku masih setia

Satu Juli
23.20



Senin, 18 Juni 2018

Engkau ada di mana?

Ketika angin kencang menerpa rumah hatiku,
engkau ada di mana?
selalu aku bertanya
bahkan wangi mawar semakin sayup
padahal
rinduku  masih tertuju padamu
janganlah pergi...

#90 hari pertemuan