Laman

Minggu, 19 Februari 2017

Bersama angin, katamu suatu pagi...

Pada titik hati terdalamku
kusampaikan rasa yang tak lagi dapat kumaknai utuh,
kecuali atas nama cinta,
kataku,suatu pagi.

Aku juga tahu, dari titik hati terdalammu,
engkau tak pernah benar-benar rela 
untuk mengabaikan sebuah rasa
karena ia senantiasa menjadi bayangmu,
katamu,suatu pagi.

Lalu pada belahan hati mana
akan kau genggam keraguan, 
jika kenyataan akan membahagiakanmu?,
katamu lagi,suatu pagi.

Entah pada batas atas mana,
engkau akan membiarkan jarak terjalin antara kita,
padahal kerinduan untuk melihatmu kembali, 
terbatas angan
tapi selalu kaujanjikan akan datang bersama angin,
kataku suatu pagi,kepadamu.

di kapel ini,
aku ingin bertemu,
kita akan bertemu,
bersama angin yang menyusup diam-diam 
dalam doa yang tidak putus kudaraskan
hanya untukmu,
di satu pagi,
kepunyaan kita.

hen.da 💕






Rabu, 15 Februari 2017

Tanpa Mawar. Tanpa Coklat

Empat belas Februari... 

Seperti kisah klasik Romeo dan Juliet, tidak akan habis untuk diceritakan, menceritakan dan terceritakan dalam pusaran waktu dan peradaban manusia.

Ia seperti nyala lilin yang diam-diam meleleh untuk menerangi kegelapan. Seperti halnya cinta dan kasih sayang yang menjiwai setiap kali kepingan empat belas bulan ini hadir di tengah-tengah umat manusia,seperti itulah  kasih sayang. Diam-diam memberikan kekuatannya pada setiap insan di dunia. Meleleh menjadi cahaya hati setiap insani. 

Pada tempat sebenarnyalah jika kasih sayang itu diberikan dan diterima setiap waktu,walaupun tanpa mawar, tanpa coklat. karena cinta untuk cinta.


💖uda 💖


Senin, 13 Februari 2017

Menanti Hujan Berhenti

Seperti berjanji pada bumi, langit tak berhenti menumpahkan hujan sedari pagi. Jalanan menjadi kuyup dan orang-orang berkendara sepeda maupun motor, berusaha serapat mungkin menutupi badannya agar tidak basah oleh teritis airnya.

Begitupun aku, yang pergi dan pulang ke tempat kerja berteman hujan. Gigil di balik sweater coklat, hadiah terakhirmu, saat ulang tahunku tahun lalu.

Dan siang ini aku menunggu. Menunggu hujan berhenti. Sesungguhnya aku tak suka menunggu. Apalagi  menunggu seseorang di bawah hujan. Membosankan. Seperti menghitung air yang berlomba meloncat, membasahi ujung sepatu kerjaku. Tak pernah tahu, berapa banyak dan berapa basah yang menyusup diam-diam ke ujung kaki. Tapi aku harus menunggu di sini karena kita sudah berjanji. Berjanji di tempat favorit kita ini. Warung nasi soto,tempat kita singgah sepulang kerja, jika pagi terlambat bangun dan tak sempat masak untuk lauk seharian.

Sedikit beringsut dari kusi panjang terbuat dari sisa besi usang, kusisihkan  tempat untukmu duduk.

"Aku sengaja diam dan terus berusaha memahamimu, bukan berarti aku tidak bisa marah dan kesal." kataku mengawali, dan kamu hanya memandangku sepintas.

"Aku hanya ingin kamu pahami, akulah orang yang selama ini selalu bersamamu dalam setiap situasi. Kamu tidak lupa itu,kan?" lanjutku dan kamu hanya tersenyum sembari meraih tanganku yang dingin oleh hujan dan perasaan.

"Bagaimanapun, aku tidak pernah menyesali yang pernah terjadi. Kamu tetap orang yang sudah membuatku bahagia sepanjang hidupku." berat suaramu terdengar melawan  hujan.

"Setidaknya, kita sudah saling belajar menerima kekurangan dan kelebihan." tambahanmu menghapus sedikit keraguanku.

"Akan menjadi kenangan indah, bahwa kita pernah berjalan bersama untuk tujuan yang sama, sebelum kita saling meninggalkan." kali ini suaramu tertahan oleh tangis. 

Aku tak mampu berkata-kata apapun. Hanya memandangmu. Memandang wajah penuh cintamu yang selama ini senantiasa menjaga hidupku. Perlahan-lahan mataku menghangat oleh tangisan, mengaburkan pandangan. Kugenggam erat tanganmu. Kamu genggam erat tanganku. Sungguh tak ingin ada perpisahan. 

Pelan kamu usap-usap seluruh jemariku. Mulai menarik tanganmu menjauh dari genggamanku. Terasa lemah setiap perasaanku,  Aku merasakan dingin yang menyengat serta gumpalan hampa, hingga akhirnya kita tak lagi saling berpegangan. Hanya saling menatap lekat, memendam rasa yang tak bernama lagi...

"Ibu, nasi sotonya keburu dingin, nanti ga enak dimakan." Bu Diah menjawil tanganku, menghentak imajiku,bersamaan dengan hujan yang semakin menderas di luar sana.

"Uhff..ya,Bu,ya."gelagapan aku menjawabi.

"Tidak baik mengingatnya terus-menerus dalam kesedihan. Bapak sudah damai di surga. Ibu harus kuat demi anak-anak, ya Bu." perempuan penjual nasi soto langganan kami, memeluk pundakku. 

"Makanlah." ulangnya lagi.

Aku berusaha tersenyum. Kuah soto telah menjadi dingin saat suapan pertama. 

kupandangi hujan pada setiap garis alirannya. Kutahu dirimu saat ini juga menikmati nasi soto bersamaku, walau dalam ruh cinta kita, gumamku. Hujan semakin menderas, entah kapan akan berhenti.


 (satu siang,31 Januari 2017)








Karena menulis adalah melukis kata

Menulis adalah melukis kata hati di atas kanvas emosi dan jati diri.

Kekuatan kata-kata terkadang tidak pernah terpikirkan oleh siapapun.
Kata-kata hanya sebatas kata yang dituturkan lalu dipahami setelah itu menjadi onggokan usang perasaan.

Padahal kata adalah lebih dari sekadar ungkapan. Ia bisa menjadi monumen hati bagi setiap perasaan, bagi setiap pikiran jika ia dirangkai menjadi frasa,klausa,kalimat dan pargraf pada sebuah tulisan, teks karya sastra yang mengharu biru perasaan, Atau, menjadi teks yang memperkaya pengetahuan pembaca lewat teks nonsatra.

Maka menulislah, karena tulisan akan mengukirkan namamu pada sejarah peradaban, kini dan sepanjang segala masa.