Laman

Jumat, 29 September 2017

Desya

Desya gadis enam belas tahun itu mengisahkan imajinasinya di atas selembar kertas. Ia penulis. Pemula saja menurutku. Tetapi kekuatan kata-katanya menghipnotisku. Aku gurunya, menemukan mutiara pada dirinya. Kudekati dia.

"Cerita pendekmu sejak paragraf pertama sudah mengaduk-aduk  emosi pembaca,Desya. Kamu tentu  suka membaca novel atau cerpen, ya?" tanyaku, dan Ia melirikku saja, tanpa senyum seperti biasanya. Desya hanya satu dari dua puluh murid kelas menulisku. Gadis sangat pendiam, tapi tidak untuk pembicaraan atas nama imajinya. Ini cerpen ketiga yang ia buat pada materi kelas menulisku. Dua cerpen sebelumnya berhasil menggedor seluruh perasaan siswa kelas menulis. Aku pikir dia tidak perlu lagi berada di kelas kreatif ini, bahkan untuk menjadi mentor sebayapun. Aku juga berpikir, setidaknya tiga tahun lagi dia sekaliber Dewi Dee , Tere Liye atau penulis perempuan kondang lainnya di republik ini, jika ia menjaga dan terus menumbuhkan proses kreatifnya.

"Saya hanya ingin membagi perasaan dalam hidup saya.  Saya sering membayangkan seandainya seorang perempuan  tidak meninggalkan seorang bayi merah di teras panti asuhan, mungkin saya tidak pernah  bisa menulis cerita pendek, bu guru." jawabannya menghentikan segenap pertanyaanku berikutnya. Kali ini Desya tersenyum padaku. Entah karena alasan apa. 




Minggu, 10 September 2017

Tak kan ada cinta yang lain

Mata indah itu tak pernah berhenti melukai perasaanku.
Mengapa tak pernah sekalipun dirimu melarung rasa itu ,
agar hanyut semua keinginan mencintaimu lebih lama?

September baru saja membuka hari, tapi aku tak menemukan apapun untuk bisa mengartikan kebaikanmu selama ini. Apakah lantaran persahabatan, rasa kasihan atau sekadar basa-basi? Perlahan kututup buku harian yang kini seperti menjadi bayangan kemanapun aku pergi. Buku tebal ini menyimpan setiap puisi, setiap cerpen atau setiap rasa baik, rasa buruk yang menguasai perjalanan sendiriku. Begitupun sore bermendung tipis kali ini.

Namanya sederhana, Cahyadi. Hitam manis. Perawakannya kukuh dan selalu membuatku nyaman berada di sisinya. hanya dia selalu bercerita tentang banyak perempuan yang; ia singgahi hatinya, ia simpankan namanya, atau sekadar ia titipkan di bagian entah mana dari tempat di hatinya yang tersisa. Tidak sekalipun aku merasa ada namaku di hari-harinya. padahal, aku melihat harapanku di matanya. Akh...

Dan anehnya, aku tak bergeming sedikitpun untuk menyingkir dari hidupnya. Hariku terasa sepi bila seharipun dia tak menemuiku untuk sekadar berbincang menghabiskan waktu pergantian mata kuliah. Selalu juga dengan canda tawa yang mencerahkan kami, teman satu kelasnya.

Sampai kali ini. Sore dalam sepoi angin bermendung tipis,secara sengaja ia mengajakku ke tempat sederhana ini,rumah pohon hutan raya yang hanya berjarak satu jam dari rumahku. Kami tidak hanya berdua, tapi bersama juga beberapa teman. Kami mengisi hari Minggu yang tumben kosong tanpa kegiatan kampus.

Awalnya kami berenam bergerombol menikmati jagung rebus di tepian danau hutan raya ini. Jaket tebalku tidak mampu menghalau dinginnya udara, tapi tawa canda lepas kami, sedikit menghangatkan suasana. Tanpa kusadari empat temanku mulai pergi menjauh dengan berbagai alasan, ada yang ke kebun anggrek atau sekadar jalan menyusuri tepian danau lainnya. Kami masih bisa saling melihat sosok. Di sampingku, kulihat Cah masih asik menghabiskan jagung rebusnya dengan sesekali memperbaiki letak jaketnya.

"Ta,udara segar seperti ini perlu juga kita nikmati, yaach..sebulan sekalilah. Asik,kan?" ia meminta persetujuanku.
"Asik sajalah kalau kita ada waktu" balasku sekenanya, sambil melihat Rey yang mencoba meraih rakit di tepian sana. Rey melambaikan tangan mengajak kami mendekatinya, mungkin diajak menaiki rakit. 
"Harus ada waktu untuk kita,Ta." Cahyadi mengelap tangannya yang belepotan dengan butiran jagung, disisihkannya batangnya pada tas plastik sampah di sebelahnya.
 "Kita?" mataku membalas tatapan yang meneduhkanku sepanjang selama ini.
"Ya,kita. Aku dan dirimu" kali ini ia meraih pundakku, memeluk lembut. Aku tak melepaskannya, karena sesungguhnya aku merasa bahagia. Merasa sudah memiliki dan dimiliki hatinya, hidupnya.
"Aku tidak mungkin lagi menyembunyikan perasaanku. Sudah lama ingin mengatakan." diciumnya dengan sayang  keningku. Dan aku merasakan kehangatan yang dalam memancar dari seluruh pelukannya.

"Tak kan ada cinta yang lain lagi,Ta."
"Ijinkan aku memiliki waktu selalu bersamamu. Hanya bersamamu. "

Dan, cinta telah memilihku...
Kali ini, pada senja yang mulai bergerimis di rumah pohon hutan raya.

my brightness in heaven,
100917