Laman

Jumat, 31 Agustus 2018

Sementara Hari Semakin Malam

Clareta namanya. 
 Perempuan berambut ombak, bermata gelombang. Kulitnya coklat terpanggang matahari, setiap pagi, setiap siang, setiap sore. Dibiarkannya seluruh tubuhnya bercumbu dengan panas pasir, minyak bararoma menyengat dan topi pandan sisa suvenir turis dari Aussie, yang sempat dipuaskannya dengan pijatan lembut, seminggu lalu. 
Pantai ini terlalu menjanjikan khayalan untuk terbang ke Aussie mengubah kemiskinan yang melilit lahir dan batinnya sejak kanak-kanak.
"Ibu, aku kan sudah lulus SMA. Sudah enam bulan menemani pekerjaan Ibu memijit para tamu." katanya tadi pagi sebelum memulai pekerjaannya di antara pasir dan buih ombak. Dibaringkannya dirinya di pangkuan ibunya. 
" Aku ingin kerja kantoran . Aku lelah,Bu." keluhnya hampir tak terdengar. 
"Jangan lelah pada hidup,Nak. Karena hidup tak penah lelah menghidupi kita," perempuan yang menua bersama angin dan pasir pantai itu mengelus-elus rambut dan pipi anak semata wayangnya dengan penuh cinta. Dirasakannya perasaan anaknya sampai jauh ke lubuk hatinya. 
"Kalau saja Bapak tidak membiarkan dirinya direbut perempuan lain itu, tentu kita tidak bekerja seperti ini, kan, Bu?" Clareta menangis, tapi masih mengandaikan keluarga bahagianya, padahal jarak dan waktu telah menjauhkan Bapaknya dari rumah sederhana mereka. 
Lelaki yang disebutnya Bapak oleh Clareta, hanya lelaki egois yang meninggalkan Clareta pada usia kanak-kanak, saat dirinya kelas 3 SD. Meninggalkan trauma mendalam karena Claretta menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tuanya yang  berujung perceraian. 
Hati Claretta patah, sampai hari ini.
"Sudahlah, Etta, biar saja Bapakmu membawa perih luka kita. Mungkin dengan itu, dia masih tetap mengingat kita berdua."  
Suwitri, perempuan yang disebutnya ibu, sudah mematikan semua indra pengharapannya. Claretta bangkit dari pangkuan ibunya. Dipeluknya perempuan kesayangannya. 
"Ibu, ajari aku menjadi kuat, sepertimu." terisak-isak sepagi ini, seperti membasuh semua lelah yang baru dirasanya selama enam bulan, tak sebanding dengan lelah yang dirasakan ibunya membesarkan dirinya. Bertahun-tahun. Ibunya tersenyum. 
"Pasti. Kamu pasti bisa. Kamu akan menjadi perempuan yang lebih kuat dari aku, karena kamu terbuat dari seluruh doa dan cintaku." Ibu tersenyum dan mencium kening Clareta dengan sepenuh-penuhnya. 
Sesudah itu, mereka berpisah menuju tempat kerja masing-masing. Berusaha mencari wisatawan  yang mau memakai jasa mereka. Entah memintal rambut atau memijat-mijat tubuh mereka. 
Tapi sayang, hidup tak pernah mengabarkan kematian.
Percakapan di pagi itu,  sebatas  kenangan. 
Suwitri, perempuan pujaannya telah dipanggil Tuhan.  Sore itu mereka berdua tiba di rumah hampir bersamaan. Suwitri mengeluh kecil tentang sakit yang dirasa di bagian tengkuknya. Ia minta dibuatkan teh hangat selesai mandi. Tetapi, teh hangat itu tak akan pernah direguknya lagi.  Suwitri pergi dijemput takdirnya pada sore yang berhujan, di balai-balai kecil ruang tamu mereka.
Seluruh kerabat dan teman-teman pantainya berdatangan menemani Clareta. Doa-doa telah didaraskan, melambung tinggi mengantarkan perempuan kesayangan Clareta menuju surga abadi. 
Hati Clareta patah. Untuk kali kedua. 
 Satu-satunya harta berharga yang membuat dia merasa menjadi orang terkaya di dunia telah diambil Sang Pemilik Kehidupan.
Clareta menyimpan gelisah di bening mata penuh gelombang kehidupan.
Perempuan berambut ombak, bermata gelombang membiarkan dirinya diayun takdir, 
serupa hari yang semakin malam, lalu dini hari, dan menuju  fajar di esok pagi. 
Senja di Pantai Legian, keping terakhir bulan Agustus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar